Aku sebenarnya lahir dari keluarga yang tak kekurangan. Meski kehidupan kami tidak berlebihan, tapi cukup dapat menjalani hari-hari dengan tentram. Ayahku seorang pegawai negeri, sedangkan ibuku membuka toko kelontong di depan rumah kami. Aku sendiri anak tertua dari 2 bersaudara, adikku perempuan masih kecil. Masa SD-ku kujalani dengan baik, aku orangnya memang mudah bergaul. Walau keinginan tahuan akan hal baru sedikit besar, tapi kadang aku suka sedikit belagu dan sok tahu. Sosokku sendiri sebenarnya biasa saja, hanya badanku agak lebih besar dibanding teman-teman yang lain.
Keinginan tahuanku yang sedikit
besar itulah yang menjadi awal berubahnya pemikiranku tentang hal-hal tabu. Hal
itu berawal dari saat aku kelas 6 SD. Temanku membawa kartu yang berisi adegan
mesum. Meski hanya 4 lembar kartu, tapi hal itu terus membayang di benakku.
Sampai akhirnya, saat akhir kelas, aku sudah mengalami mimpi basah.
Awal masa SMP, tidak menjadi masalah bagiku. Aku dengan mudah dapat bergaul akrab hampir dengan semua teman baruku. Sampai kemudian, aku mengenal seorang guru sebut saja bu Yanti, guru matematika sekaligus wakil kepala sekolah kami. Wanita yang masih dibawah 40 tahun itu mempunyai sifat yang sangat ramah serta akrab kepada semua murid. Selain itu, wajahnya yang lumayan cantik, dengan kulit yang putih bersih, menjadi nilai tambah baginya. Perawakannya yang singset dan payudaranya yang agak besar, kadang menjadi bahan bisik-bisik murid-murid di sekolah.
Keakrabanku
dengannya berawal saat caturwulan pertama telah selesai. Siang itu, setelah
keluar dari ujian terakhir, aku tak langsung pulang. Aku main basket dengan
teman-temanku. Sampai akhirnya, ketika jam menunjukkan pukul satu siang, kami
hendak pulang. Mereka menyuruhku mengembalikan bola basket ke kantor. Aku pun
membawa bola itu. Saat masuk kantor, sebenarnya ada tiga orang guru yang masih
belum pulang, termasuk bu Yanti.
Saat melihatku,
bu Yanti tersenyum. “Kebetulan, kamu murid kelas satu
kan, siapa namamu?” katanya.
“Iya, bu. Saya Tono.” jawabku.
“Sini, ibu mau
minta tolong,” katanya.
Aku pun
menghampirinya. ”Ada apa, bu?” tanyaku.
“Ibu mau minta
tolong, periksain ulangan anak-anak. Bisa kan?” tanyanya.
“Wah, bu, takut
gak bisa.” jawabku.
“Gak kok,
gampang. Jawabannya sudah ada, kamu tinggal samain aja.” katanya.
Karena merasa
segan, akupun akhirnya mau setelah diberi sedikit petunjuk.
“Yuk, di ruang
ibu aja.” katanya, kemudian kami masuk ke ruangannya. Dia kemudian
memberikan tumpukan kertas jawaban. ”Ini samain sama ini, yang pilihan abc-nya
aja.” katanya. Aku mengangguk.
Baru sekitar 15
menit, kudengar bu Yanti memanggil penjaga sekolah. “Kamu mau bakso atau mie
ayam, belum makan kan?” katanya.
“Gak usah, bu.
Tadi sudah makan.” jawabku.
”Ya sudah,
minum aja ya?” katanya. Tanpa mendengar persetujuanku, dia sudah memesankan
minuman kepada pak penjaga sekolah.
Kira-kira
kurang satu jam, aku selesai mengerjakan tugasnya. “Mana lagi, bu?” tanyaku.
”Ada sih. Tapi
udah siang, ntar orang tua kamu khawatir lagi.” katanya.
“Tenang aja,
bu. Pulang maghrib juga gak papa, sudah biasa.” kataku.
Akhirnya aku
mengambil tumpukan di mejanya kerjanya. Aku kembali ke meja di depannya, dan
asyik mengerjakan tugas yang ia berikan. Tak terasa, aku menyelesaikan sampai 5
kelas, saat jarum jam menunjukan angka 4.
“Cepat juga
kamu ya, tapi sudah lah, cukup. Sudah terlalu sore.” katanya.
Walau aku
bilang tak apa-apa, tapi kelihatannya dia tidak tega. Sebelum pulang, aku
diberi uang 5 ribu untuk ongkos. Aku awalnya menolak, tapi dia memaksa. “Nanti kalo ibu
minta tolong lagi, mau kan?” katanya. Aku mengangguk.
Sejak itu, kami
menjadi lebih dekat. Walau di depan teman-teman dia biasanya hanya tersenyum,
tapi kalau saat aku membantu memeriksa ulangan harian kelas lain, dia selalu
banyak bertanya, terutama mengenai kegiatanku sehari-hari. Aku sendiri tak
merasa special, karena aku tahu, selain aku, banyak anak-anak lain yang kadang
dia mintai bantuan. Sampai akhirnya suatu hari, dia kembali meminta aku
membantunya untuk memeriksa ulangan harian murid-murid lain.
“No, nanti mau
gak bantu ibu? Bawa buku-buku itu ke rumah, kamu lewat rumah ibu kan arahnya?”
dia bertanya.
“Boleh, bu.”
kataku.
“Ya sudah,
nanti kita pulang bareng kalau sudah selesai, atau kita kerjakan di rumah ibu
aja, gimana?” tawarnya. Karena sebagian masih tertinggal di rumah, akhirnya aku
setuju. Kami pun pulang ke rumahnya menggunakan angkutan umum.
Sampai di rumah
yang berukuran sedang, dengan hanya satu kamar tidur besar. ”Ibu disini
ngontrak, kebetulan perumahan ini yang paling dekat sekolah.” Katanya saat aku
tanya ini rumah siapa.
”Lingkungannya
sepi ya, bu, gak takut maling?” tanyaku.
”Kan di depan
ada penjaga. Mereka pada
kerja kali, jadi sepi gini.” jelasnya.
“Suami ibu di
mana?” tanyaku.
”Mereka di
Malang, sama anak ibu.” katanya.
“Oh, anak ibu
kelas berapa?” tanyaku lagi.
”Dia sudah
kuliah, baru masuk.”
”Masa sih, bu?
Kirain anaknya masih kecil, kok ibu gak keliatan punya anak yang sudah gede.”
kataku sedikit memujinya.
”Ih, kamu bisa
aja.” katanya.
Ya, bu Yanti
memang ditugaskan ke sekolahku, tapi resikonya, dia harus jauh dengan
keluarganya. Sudah 3 tahun lebih, katanya dia jauh dari keluarga. Biasanya
kalau ada libur yang agak panjang, beliau baru menemui keluarganya. Suaminya
sendiri sebulan sekali rutin menjenguknya, kadang bersama anak dan mertuanya
juga. Begitu bu Yanti memberitahuku.
“Ibu gak
kesepian sendirian?” tanyaku.
“Kadang sih
sepi. Tapi untung, ibu sibuk dengan kerjaan. Lagian kadang kan ada murid yang
datang bantu, jadi gak gitu sepi.” jelasnya.
“Oh... oh ya,
ibu kapanpun boleh kok minta tolong saya, asal jangan yang susah. Ya meriksa abc
aja, bu.” kataku. Dia tersenyum, dan mengucapkan terima kasih.
Sungguh, aku
makin senang dapat membantunya. Sampai akhirnya, ujian kenaikan kelas telah
selesai, aku kembali diminta membantunya. Siang itu, aku kembali datang ke
rumahnya. Aku sudah tidak canggung lagi.
”Aduh,
ketinggalan sebagian di sekolah.” katanya saat mengeluarkan isi kantong
plastiknya.
“Aku ambilkan,
bu. Biar aku
kembali ke sekolah lagi.” kataku.
“Jangan ah,
kasian kamu. Jalan ke
depannya kan agak jauh. Besok aja kalau kamu gak keberatan, kesini lagi ya?”
katanya. Aku setuju. Akhirnya aku mengerjakan tugasku, baru jam dua siang,
semua sudah beres. Kulihat bu Yanti menyiapkan makan.
“Kamu makan
dulu,” katanya. Akupun kemudian
makan.
“Kamu tuh
berapa tahun umurnya? ” tanyanya.
”Tiga belas,
bu.” jawabku.
“Wah, sudah
gede dong. Pasti sudah akil baligh ya?” katanya. Aku mengangguk malu.
“Udah mimpi
dong?” tanyanya.
”Udah dong,
bu.” jawabku sok dewasa. Bu Yanti tertawa, tapi tawanya kelihatan agak genit.
Tapi entah, aku malah senang.
“Kapan pertama
mimpi?” tanyanya lagi.
“Kelas enam SD,
bu.” jawabku.
”Sudah punya
pacar?”
”Belum, bu.”
Tak terasa
obrolan pun mengalir, diiringi gelak tawa dan guyonan. Sesekali dia juga
menanyakan hal tabu, dan aku jawab dengan senang hati.
Saat malam, aku
terus berfikir mengenai hal yang terjadi sore tadi. Apalagi saat bu Yanti
bertanya, ”Pernah masturbasi?” Dengan malu aku jawab, ”Pernah, sekali.” Dan dia
berkata, ”Anak-anak sekarang terlalu cepat gede,”
Aku juga ingat
untuk menjaga rahasia, agar jangan sampai obrolan kami, aku ceritakan ke anak
lain, dan aku berjanji. Dan besoknya, walau sekolah sudah bebas, tapi aku tak
sabar menanti untuk membantu bu Yanti.
Hari masih
sekitar jam 10, tapi aku sudah bolak-balik di depan kantor. Sementara anak-anak
lain yang hanya sebagian yang datang, sudah bergegas pulang. “Kamu tunggu di
depan aja ya?” kata ibu Yanti saat dia melihatku.
kira-kira jam
11 lebih, beliau keluar dari kantor. Aku pun membantunya membawa bungkusan
plastik saat naik angkutan. Dalam becak yang menuju ke rumahnya, bu Yanti
sempat berkata: “Terima kasih ya, kasian kamu jadi capek dua kali.” katanya.
“Kan aku bilang
gak papa, bu. Kapanpun siap, asal nilaiku jangan jelek aja, hehehe... bercanda,
bu.” kataku saat kulihat delik mata bu Yanti.
Sampai di
rumahnya, bu Yanti berganti pakaian daster dengan belahan yang sangat rendah,
membuat jantungku berdebar tak karuan. Aku langsung mengerjakan tugasnya, yang
ternyata hanya sedikit. Kurang dari jam 1 sudah selesai semua, membuatku
sedikit kesal karena harus cepat pulang.
“Kok sedikit
sih, bu, kelas lain mana?” kataku.
“Belum, nanti
aja.” jawabnya.
”Kenapa gak
sekalian aja,bu?” kataku.
”Nanti
dikerjakan anak lainnya.” dia menjawab.
“Iya, bu.”
kataku kecewa.
“Lho, kenapa
emangnya?” tanyanya.
“Ya gak papa,
bu.” kataku.
“Masih betah
disini ya?” tanyanya.
Aku hanya
senyum.
”Ya sudah,
ngobrol dulu aja. Ibu juga sengaja bawanya dikit supaya bisa lama ngobrol sama
kamu.” katanya.
Akhirnya
kamipun ngobrol kesana kemari. Sampai akhirnya saat aku berdiri mau ambil air,
bu Yanti bertanya: “Boleh tahu gak, anu kamu berapa senti ukurannya?” katanya.
“Apanya, bu?”
jawabku, fikiranku tak menentu.
”Itu, burung
kamu.” katanya.
“Ih, ibu, malu
ah. Gak tahu, bu, gak pernah ngukur.” jawabku sambil kemudian berjalan menuju
dapur sambil tersenyum. Tanpa kusangka, bu Yanti mengikutiku, dia kemudian
duduk di dekat meja makan.
”Kok malu?” katanya.
”Emang kenapa
ibu mau tahu?” tanyaku.
“Gak, badan
kamu kan lebih gede dari yang lain. Apa itunya ikut gede juga?” katanya.
Aku hanya
tersenyum. ”Gak tahu, bu. Belum ngukur.” jawabku.
”Ibu ukurin mau
gak?” katanya.
Jantungku makin
berdetak kencang, tapi setiap kali dia bertanya, aku malah semakin suka, entah
kenapa. ”Malu dong, bu.” jawabku. Aku kemudian meneguk air mineral, padahal
gelasnya sudah kosong.
”Kenapa malu,
atau ibu liat aja ya?” katanya. Aku tak sempat bergerak karena tangannya tiba-tiba
menyentuh pinggangku, dan menariknya agak mendekat. “Ibu penasaran aja, boleh
ya?” katanya.
Aku hanya diam
saat perlahan resleting celanaku mulai dia buka, dan kemudian melebarkan
celanaku. Mukanya terus menatap kemaluanku, sementara tangannya mengelus celana
dalamku yang sedikit mumbul. Aku sendiri hanya bisa melihat sambil terus
meletakkan gelas di bibirku. Sesaat dia menurunkan celana dalamku, hingga
burungku perlahan keluar. Anehnya, burungku malah sepertinya bergerak dan
membesar. Apalagi saat tangan bu Yanti mulai mengelusnya, kemudian
mengusap-usap bulu-bulu halus yang mulai menghitam di pangkal kontolku.
Perlahan wajahnya mendekat, aku tetap diam. Lalu dia mulai mengulumnya, membuat
kontolku mulai mengeras pelan.
”Enak gak?”
katanya. Aku mengangguk. “No, ibu boleh minta tolong gak?” tanyanya kemudian.
”Apa, bu?”
kataku.
”Kamu takut
ga?” katanya.
”Gak, bu, emang
kenapa?” tanyaku.
“Kalau kamu
berani, gauli ibu!” bisiknya. ”Pasti gak berani ya?” katanya menyindir.
Rasa belaguku
muncul. “Berani aja, bu,tapi…”
Belum selesai
aku menjawab, bu Yanti menarik tanganku kembali ke ruang tengah. Perlahan tapi
pasti, dia membuka kancing bajuku, kemudian kaos dalamku. Celana seragamku yang
sudah dia buka resletingnya, dia turunkan bersamaan dengan celana dalamku. Aku
akhirnya berdiri terpaku dihadapannya dengan telanjang bulat. Sesaat kemudian,
dia menarik dasternya ke atas.
Dadaku
berguncang hebat, jantungku berdetak tak karuan saat kulihat dia hanya memakai
celana dalam dan kutang warna hitam. Dan tak lama, celana dalamnya juga ia
lepaskan. Kulihat payudaranya yang masih terbungkus beha seolah ingin meloncat
keluar karena saking besarnya. Bu Yanti kemudian berbaring di karpet. “Sini, kalau kamu
berani!” katanya.
Perlahan aku
mengkampirinya. Kulihat dia membuka pahanya lebar-lebar. Jelas sekali belahan
memeknya yang berwarna coklat kemerahan. Aku kemudian berjongkok dihadapannya.
“Tapi aku belum pernah, bu.” kataku.
“Gak papa.
Sini, pelan-pelan. Gak sakit kok.” katanya dengan senyum menggoda.
Akhirnya aku
membungkuk dihadapannya. Tanganku menahan tubuhku di sisi kiri dan kanan badannya.
Kontolku yang dari tadi sudah menegang, digenggamnya erat, dan perlahan dia
arahkan ke depan lubang memeknya. Dengan bantuannya, kontolku perlahan masuk
menembus lubang kemaluannya. Rasa hangat dan nikmat langsung menjalar di
seluruh tubuhku. Rasa itu makin melambung saat kontolku mulai masuk semakin
dalam.
Perlahan,
dengan bimbingan tangannya, aku mulai menggerakkan kontolku maju mudur, sampai
akhirnya dia melepaskan tangannya dari pantatku dan memeluk punggungku. Aku
makin merapat dan kurasakan dia pun ikut menggerakan pinggulnya naik turun,
menyambut sodokanku. Rasa nikmat yang kurasakan membuatku merintih tak karuan,
sampai akhirnya aku pun mendekapnya erat.
“Bu, aku gak
kuat lagi…!!!’’ dan ahh... ahh… ahh... akhirnya spermaku kurasakan mengucur
deras di dalam lubang kemaluannya.
Bu Yanti
mengusap keningku dan tersenyum. “Gak papa, santai dulu aja.” katanya sambil mendekapku
mesra.
Aku hendak
mengambil celanaku saat dia berkata. “Mending kamu mandi dulu sana.” katanya
sambil bangkit dan berjalan menuju kamarnya hanya dengan berbeha saja. Aku
masih menutup kemaluanku dengan celana saat dia menyodorkan handuk bergambar
bunga.
”Udah, bajunya
ditinggal aja.” bu Yanti merebut celanaku. Kupandangi selangkangannya yang
menghitam oleh bulu, ada sedikit lelehan spermaku disana.
Sesuai
perintahnya, aku pun masuk ke kamar mandi. Setelah selesai, kulihat bu Yanti
menyediakan makan. Dia sudah memakai dasternya kembali. ”Kok masih malu?” katanya saat
melihatku membalikan badan saat memakai pakaian. Pikiranku masih tak karuan,
tapi rasa dingin air es sedikit menenangkanku.
Sambil makan,
kami pun ngobrol. “Maafin ibu ya?” katanya.
“Gak papa, bu.”
jawabku.
“Kamu suka
gak?” tanyanya. Aku tersenyum.
Setelah
selesai, aku duduk di kursi, memandangi tempat kejadian tadi. “Pasti kalau kamu
dimintai tolong lagi, gak mau?” tanyanya.
“Gak kok, bu.
Masih tetep mau.” jawabku.
”Benar?”
tanyanya. Aku mengangguk pasti.
“Ya sudah, ibu
mau minta tolong lagi.” katanya. Aku mengangguk.
Tiba-tiba bu
Yanti kembali membuka dasternya, kemudian kutangnya. Celana dalamnya, yang
sekarang berganti dengan warna merah, tidak ikut ia lepas. Kemudian dia
berbaring kembali di karpet beralaskan bantal di kepalanya. “Sini,” katanya
sambil menarik tanganku. “Hisapin puting ibu, ya?” katanya.
Kupandangi
sejenak benda bulat sebesar kepala bayi itu. Kuperhatikan betapa besar dan
padat bulatannya, juga warna kulitnya yang sangat putih dan mulus, dan
putingnya... tampak sangat menggiurkan dengan ukurannya yang mungil dan
warnanya yang merah kecoklatan. Tak lama, aku pun mulai menyedot dan menghisap-hisapnya
seperti bayi.
“Ibu masih
pingin ya?” tanyaku disela-sela sedotanku.
“Iya,” katanya
sambil perlahan kembali menggerayangi celanaku. Akhirnya aku merebah,
kubaringkan diriku di sampingnya sambil mulutku terus mengenyot putingnya, bergantian
kiri dan kanan. Sementara bu Yanti kembali membuka celanaku dan mengelus-elus
batang kontolku yang sudah ngaceng berat.
Tanpa kuminta,
dia kembali mengulumnya, menghisap dan menjilatnya penuh nafsu sambil
menyuruhku melakukan hal yang sama pada lubang kemaluannya. Dalam posisi
berbaring miring berhadapan, kami melakukannya.
Saat memeknya sudah menjadi sangat basah, bu Yanti tersenyum. Tak lama,
saat kontolku sudah benar-benar keras, dia kembali naik ke atas tubuhku, dan
perlahan kontolku ia jejalkan ke dalam lubang memeknya.
Lalu mulailah
dia menggerakkan tubuhnya yang montok naik turun, menjepit dan mengurut batang
kontolku dengan lubang memeknya yang sempit dan basah, hingga semakin lama
goyangannya kurasa menjadi semakin cepat. Aku hanya pasrah menerimanya.
Kupandangi wajah cantiknya yang mengerang-ngerang seperti orang kepedasan
sambil kuremas-remas bulatan payudaranya yang terasa sangat empuk dan kenyal di
genggaman jari-jariku.
Sampai
akhirnya, lima belas menit kemudian, dia memelukku dan menyuruhku untuk
berbalik. “Aduh, ibu sudah kewalahan. Sekarang kamu yang diatas.” katanya.
Kurasakan
memeknya menjadi kian basah setelah dia menyemprotku sekitar tiga kali tadi.
Rupanya dia sudah orgasme, sedangkan aku masih belum apa-apa. Aku pun berguling
dan naik diatasnya tanpa melepas tautan alat kelamin kami. Sekarang aku yang
menggenjotnya, menggerakkan pinggulku maju mundur hingga bisa menggesek
dinding-dinding vaginanya dengan penisku yang masih terasa kaku dan keras.
Hingga
kira-kira 10 menit kemudian, akupun mulai tak tahan. Apalagi bu Yanti terus
menyiram penisku dengan cairan cintanya yang menyembur deras bertubi-tubi.
Sudah tidak bisa kuhitung lagi berapa kali dia mencapai puncak. Yang jelas, dia
kelihatan sangat lelah dan puas sekali. Sampai akhirnya, aku menyusul tak lama
kemudian. Spermaku meledak di dalam liang memeknya. Setelah kuperas hingga
habis, aku pun terkulai lemas di atas gundukan payudaranya. Kusandarkan pipiku
disana.
Sungguh, suatu
pengalaman yang luar biasa dan tak terkira. Saat pulang, aku dibekalinya uang.
Tapi pikiranku terus melayang tak karuan.
Sejak itu, kami
makin dekat. Sesekali kami mereguk kenikmatan bersama. Meski tidak ada tugas
memeriksa yang dia berikan, tapi dia memberiku tugas lain, menuntaskan
rasa dahaganya. Dan aku sangat menyukainya.
Sampai
akhirnya, di pertengahan kelas dua, aku kembali disuruh datang. Saat itu, dari
sekolah seperti biasa kami bersama. Sampai di rumahnya, bu Yanti bertanya.
“Kamu nanti mau gak?” katanya.
“Mau, bu.”
jawabku antusias.
”Wah, tapi
gimana ya, nanti ada anak kelas tiga datang juga.” katanya.
“Yah, gak bisa
dong.” jawabku kecewa.
“Ya lihat nanti
aja yah?” katanya.
“Jangan
lama-lama, bu. Gak kuat, aku sudah pengen banget. Besok ya aku datang?” kataku.
Tiba-tiba
terdengar suara motor. “Kayaknya itu dia.” kata bu Yanti. Aku kenal anak itu, anak yang termasuk
populer di sekolah. Dia anggota tim basket, badannya bagus, wajahnya hitam
manis. Perfect lah pokoknya. Dia sepertinya tidak kaget melihatku.
”Kak Wisnu ya?”
tanyaku.
”Iya.” dia
menjawab.
“Saya Tono,
kak.” kataku.
Belum sempat
kami basa-basi, bu Yanti sudah berkata: “Itu yang anak kelas satu buat kamu,
No. Sisanya buat Wisnu.”
Kami langsung
memeriksa, tanpa berkata apapun. Sesaat kemudian, bu Yanti datang sambil
membawa makanan ringan dan meletakkannya di meja. “Kok gak sambil ngobrol,
malah diam-diaman?” katanya. Kami hanya tersenyum menanggapinya. Aku dan Wisnu
lebih sering menjawab pertanyaan bu Yanti daripada saling bertanya.
Akhirnya
pekerjaan selesai, hari hampir jam lima sore. “Maaf ya, ibu janji sama kamu
hari ini,” kata bu Yanti padaku saat kami asyik memakan cemilan. Aku sedikit tak
mengerti.
Bu yanti
kemudian duduk diantara kami berdua. “No, mau gak main bertiga sama Wisnu?” katanya.
“M-maksud ibu?”
tanyaku.
“Dari pada
besok, mending sekarang aja. Wisnu juga pasti gak keberatan.” bu Yanti berkata
sambil meraba kemaluan Wisnu. Aku sempat kaget, tapi saat kemudian tangannya ikut meraba
kemaluanku, akupun maklum.
“Gak usah
takut,” kata bu Yanti. Dia berkata sambil membuka kancing baju dasternya. ”Nu, kamu buka juga!”
perintahnya pada Wisnu.
Wisnu tersenyum
dan langsung membuka satu per satu pakaiannya. Aku masih bingung, tapi saat
pakaianku dilucuti oleh bu Yanti, aku terdiam. Perlahan, bu Yanti menciumku,
sementara Wisnu tanpa ragu langsung meremas dan menciumi payudara bu Yanti yang
sudah tidak tertutup lagi. Sambil melumat daging kembar itu, Wisnu menyodorkan
kontolnya ke mulut bu Yanti. Kemaluannya sungguh hitam dan besar, lebih panjang
dibandingkan punyaku. Bu Yanti segera mengulumnya penuh nafsu. Dia hisap kontol
itu sambil tangannya meremas-remas kemaluanku.
“Kamu kok diam
aja, No?” katanya kepadaku. Aku akhirnya meremas dada bu Yanti. Kupilin dan
kupelintir-pelintir putingnya dengan ujung jariku.
Tak lama, bu
Yanti ganti mengulum kontolku. Sementara Wisnu, berbaring telentang di karpet,
mulai menjilati memek bu Yanti. Cukup lama kami berada dalam posisi seperti
itu, hingga saat aku sudah hampir meledak, bu Yanti tiba-tiba berdiri dan
nungging di pinggir sofa. Dari belakang, Wisnu langsung menusuk dan menghajar
memeknya. Kuperhatikan persetubuhan mereka sambil tanganku meremas-remas tetek
bu Yanti yang bergelantungan indah, sementara kontolku diemut dan dijilati
olehnya.
Tak lama, Wisnu
mengejang. Ia menggeram
sambil memijit keras-keras payudara bu Yanti. Tubuhnya berkedut-kedut sejenak sebelum
akhirnya terkulai lemas di sofa. Aku yang mendapat giliran selanjutnya, segera
memposisikan tubuhku. Saat sudah akan memasukkan penisku, bu Yanti mencegah.
“Di kamar aja yuk?” ajaknya.
Dia kemudian
menarik tanganku. Sesampainya di kamar, bu Yanti segera berbaring telentang di
atas ranjang, menyuruhku untuk menggenjot tubuh sintalnya dari atas. Aku pun
melakukannya. Kutusuk memeknya yang masih tampak basah oleh sperma Wisnu dan
kugoyang dengan cepat.
Wisnu yang
sudah cukup istirahat, menyusul kami ke dalam kamar. Dia duduk di sebelah bu
Yanti dan mengulum payudara wanita cantik itu. Dengan bibir dan lidahnya, dia
mencucup dan menggelitik puting bu Yanti yang sudah mengeras tajam. Sementara
kontolnya yang masih mengkerut, ia berikan agar bu Yanti menghisap dan mengemutnya,
biar benda itu jadi tegak dan bisa digunakan kembali. Benar-benar permainan
bertiga yang sangat dahsyat.
Sesaat
kemudian, aku mengejang. Padahal sudah berusaha aku tahan, tapi tetap tidak
bisa. Setelah tetes terakhir keluar, aku pun terkulai lemas di bibir ranjang.
Wisnu menggantikanku. Kontolku yang sudah kembali ngaceng segera ia tusukkan ke
memek bu Yanti yang masih menganga lebar mencari pelampiasan. Sedangkan aku
bergeser menggantikan pekerjaa Wisnu, menghisap dan meremas-remas payudara bu Yanti
yang bulat dan membusung indah.
Adzan maghrib
terdengar. Wisnu telah
mengeluarkan cairan kenikmatannya untuk yang kedua kali. Begitu juga dengan aku. Sedangkan bu
Yanti, tak terhitung berapa kali ia memekik dan menjerit panjang saat menjemput
nikmat orgasmenya. Sprei nampak basah dan lecek oleh cairan kami bertiga.
Rasanya sungguh sangat melelahkan, tapi kami malah sepakat untuk mengulanginya
lagi setelah beristirahat sejenak. Akhirnya, seperti dua kuda liar yang
menemukan betina untuk digagahi, aku dan Wisnu bergantian menggenjot tubuh
mulus bu Yanti. Bahkan di akhir permainan, saat jarum jam sudah
menunjukkan pukul delapan malam, bu Yanti menyuruh kami berdua memasukkan
kontol secara bersamaan. Aku di memek, sementara Wisnu di lubang anus. Sungguh
kenikmatan yang luar biasa.
Sejak itu,
nafsu kami jadi makin tak terkendali. Sering kami mengulangnya. Tidak saja
dengan Wisnu, tapi juga dengan anak-anak lain. Bahkan suatu kali, mantan kakak
kelasku yang telah lulus pun datang, 3 orang. Berempat kami memuaskan bu
Yanti.
Di akhir kelas
tiga, akupun tahu, bahwa bu Yanti tidak akan kesepian walau jauh dari
suaminya. Karena satu hari, aku diperkenalkan dengan murid kelas satu berbadan
tinggi dan ganteng. Bersamanya, aku menggauli bu Yanti.
Akhirnya aku
lulus. Saat SMA, pernah dua kali aku mengunjungi bu Yanti dan tentu saja
menggaulinya. Tapi semenjak kelas dua SMA, aku tak pernah ke tempatnya lagi
karena aku sudah menemukan wanita-wanita lain yang sebaya dan jauh lebih segar
dari guruku, bu Yanti tercinta…
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar